BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan merupakan hasil yang ingin dicapai dari pengembangan cara pembuatan dan cara formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga kadang-kadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel, 2005).
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes hidung.
Dari semua obat tetes hanyalah obat tetes telinga yang tidak menggunakan air sebagai zat pembawanya. Karena obat tetes telinga harus memperhatikan kekentalan. Agar dapat menempel dengan baik kepada dinding telinga. Guttae auriculars ini sendiri merupakan obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Zat pembawanya biasanya menggunakan gliserol dan propilenglikol. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu penggunaan dikatakan bersifat bakteriostatik.
Jika terkena cahaya matahari atau cahaya yang lainnya akan merusak sediaan tetes telinga tersebut. Karena guttae auriculars ini merupakan salah satu sediaan obat dalam bidang farmasi. maka seorang farmasis wajib mengetahui bagaimana cara pembuatannya dan bagaimana pula cara pemakaiannya.
BAB II
FORMULA
II.1 Master FormulaTiap 10 mL mengandung
R/ Kloramfenikol 1 gram
Propylenglikol ad 10 mL
II.2 Kelengkapan Resep
Dr.ReskyPratamaSIP. 08/056/2010
Jl.
Telp
No.05 Tanggal 19 November 2012
R/ Khloramphenicol 1 g
Propilenglikol ad 10 mL
da 60 mL
Pro : Mawar
Umur : 20Tahun
Menurut Formularium Nasional Edisi II hal. 64.
CHLORAMPHENICOLI GUTTAE AURICULARES
( tetes telinga kloramfenikol )
Komposisi : Tiap 10 mL mengandung :Chloramfenicol 1 g
Propilenglicol ad 10 mL
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Catatan : 1. Pada etiket harus tertera daluwarsa
2. Sediaan berkekuatan lain 500 mg
II.3 Alasan Penggunaan Bahan
II.3.1 Penggunaan Bahan Aktif
Kloramfenikol merupakan zat aktif yang digunakan pada pembuatan obat.Dalam sediaan tetes telinga yakni berkhasiat sebagai antibiotik (zat-zat yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme) tetapi dalam pembuatannya zat ini tidak boleh terlalu banyak karena efeknya sangat fatal yakni terjadi iritasi. Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas. Kloramfenikol berhubungan dengan gangguan darah yang serius sebagai efek yang tidak diinginkan sehingga harus disimpan untuk pengobatan infeksi berat, terutama yang disebabkan hemofilus influenza dan demam tifoid.
II.3.2 Penggunaan Bahan Tambahan
Propylenglikol merupakan zat tambahan yang berguna sebagai pelarut dari kloramfenikol, selain sebagai pelarut yang umum dalam pembuatan sediaan tetes telinga. Propylenglikol juga digunakan karena kloramfenikol sukar larut dalam air sehingga digunakan propylenglikol sebagai pelarut.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan tetes telinga atau larutan otic adalah larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk penggunaan pada telinga luar misalnya larutan otic benzokain dan antipirin, larutan otic neomisin dan polimiskin sulfat dan larutan otic hidrokortison.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Guttae auriculars atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat mudah menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok. Keasaman-kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5,0–6,0 penyimpanan, kecuali dinyatakan lain dalam wadah tertutup rapat.
Cara penggunaan dari tetes telinga, yaitu :
Cuci tangan
Berdiri atau duduk depan cermin
Buka tutup botol
Periksa ujung penetes dan pastikan tidak pecah atau patah
Jangan menyentuh ujung penetes dengan apapun usahakan tetap bersih
Posisikan kepala miring dan pegang daun telinga agar memudahkan memasukkan sediaan tetes telinga.
Pegang obat tetes telinga dengan ujung penetes di bawah sedekat mungkin dengan lubang telinga tetapi tidak menyentuhnya
Perlahan-lahan tekan botol tetes telinga sehingga jumlah tetesan yang diinginkan dapat menetes dengan benar pada lubang telinga.
Diamkan selama 2-3 menit
Bersihkan kelebihan cairan dengan tisu
Tutup kembali obat tetes telinga, jangan mengusap atau mencuci ujung penutupnya.
Komposisi pada sediaan steril tetes telinga yakni sebagai berikut (Syamsuni, 2006).
Zat aktif, misalnya neomisin, klorampenikol, gentamycin sulfat dan lain-lain.
Zat tambahn bukan air, misalnya :
Pelarut : gliserin, propileglikol, etanol, minyak nabati, dan heksilenglikol
Antioksidan : alfa tokoferol, asam ascorbat, Na-Disulfida, Na-Bisulfit
Pengawet : Klorbutanol (10,5 %) dan kombinasi paraben
Pensuspensi : Span dan Tween
Zat aktif yang digunakan untuk sediaan tetes telinga biasanya adalah sebagai berikut (Ansel, 1989)
Untuk melunakkan kotoran telinga, misalnya : minyak mineral encer, minyak nabati, asam peroksida.
Sebagai antiinfeksi, misalnya : kloramfenikol, neomisin, kolistin fosfat, polimiksin B sulfat, gentamicyn
Sebagai aniseptik dan anestesi, misalnya : fenol, AgNO3, lidokain HCl, dan benzokain.
Sebagai antiradang, misalnya : hidrokortison dan deksametazone, natrium fosfat
Untuk membersihkan telinga, misalnya : spiritus
Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan steril tetes telinga adalah :
Uji organoleptis : bau, warna dan rasa
Uji kejernihan
Uji pH : pH standar untuk tetes telinga adalah 5,5-6,5
III.2 Uraian Bahan
Kloramfenikol (FI edisi III Hal 143)
Nama resmi : CHLORAMPHENICOLUMSinonim : Kloramfenikol
Rumus molekul : C11H12Cl2N2O5
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng, memanjang, putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan, tisak berbau, rasa sangat pahit.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol (95%) p dan dalam 7 bagian propilenglikol p, sukar larut dalam kloroform p dan dalam eter p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Penggunaan : Antibiotikum yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkhasiat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau secara spesifik berguna sebagai bakteriostatik atau bakteiosid.
Propilenglikol (FI edisi III Hal 534)
Nama resmi : PROPYLENGLYCOLUMSinonim : Propilenglikol
Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopik
Kelarutan : Dapat campur dengan air, denganb etanol (95%) p dan dengan kloroform p, larut dalam 6 bagian eter p, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah p dan dengan minyak lemak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Penggunaan : Zat tambahan, pelarut dari kloramphenikol.
BAB IV
METODE KERJA
IV.1. Alat dan BahanIV.1.1 Alat yang digunakan
Batang Pengaduk
Cawan porselin
Gelas kimia 50 mL
Gelas Ukur 25 mL
Kaca arloji
Timbangan Digital
Sendok Tanduk
Wadah Tetes Telinga 10 mL
IV.1.2 Bahan yang digunakan
Kertas perkamen
Kloramphenikol 2 gram
Propilenglikol ad 10 mL
IV.2 Perhitungan / Penimbangan Bahan
Kloramfenikol = 1 gram
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 1 gram = 0.05 gram
Jadi yang ditimbang = 1 gram + 0.05 gram = 1,05 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (1,05 gram)/(10 mL) x 60 mL
= 6,3 gram
Propylenglikol = 10 mL
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 10 mL = 0.5 mL
Jadi yang ditimbang = 10 mL + 0.5 mL = 10,5 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (10,5 mL)/(10 mL) x 60 mL
= 63 mL
= 63 -6.3 mL
= 56.7 mL
IV.3 Cara Kerja
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
Sterilisasi alat yang akan digunakan di autoklaf 121oC selama 15 menit.
Digerus kloramfenikol lalu diayak dan di timbang sebanyak 6,3 gram di gelas kimia lalu dibungkus dengan perkamen, kemudian disterilisasi di oven selama 1 jam pada suhu 1150 C. kemudian di timbang sebanyak 10,5 gram
Ukur Propilenglikol 10,5 mL menggunakan spoit
Kemudian masukkan kloramfenikol di cawan porselin, lalu campur dengan Propilenglikol sedikit demi sedikit sampai homogen.
Setelah itu masukkan dalam wadah dengan menggunakan spoit, setelah disterilisasi dengan sterilisasi C, dengan menggunakan Filtrasi atau Filter dari diameter zat ke dalam botol/wadah tetes telinga.
Beri etiket, brosur dan kemasan
BAB V
PEMBAHASAN
Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu dilakukan sterilisasi pada semua alat dan bahan yang akan digunakan, tujuannya agar alat dan bahan yang kita gunakan dalam keadaan steril dan bebas dari mikroba yang bersifat patogen. Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, gelas kimia, dan botol (wadah) untuk sediaan. Alat-alat tersebut disterilkan dengan cara sterilisasi A yakni dengan menggunakan uap air bertekanan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan. Sterilisasi cara A ini dilakukan di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C atau pada suhu 1150C selama 30 menit. Sedangkan bahan yang disterilkan adalah kloramfenikol dengan teknik sterilisasi cara D yakni sterilisasi panas kering atau menggunakan oven dan kloramfenikol ini disterilkan pada suhu 1150C selama 1 jam. Sebaiknya sebelum dilakukan sterilisasi kloramfenikol ini di gerus lalu diayak agar partikel-partikelnya menjadi lebih kecil dan pada saat dicampurkan dengan pembawa, kloramfenikol ini bisa larut dengan sempurna sehingga bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga. Lalu kemudian di timbang sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, barulah dilakukan sterilisasi. Setelah dilakukan sterilisasi, bahan ditimbang sebanyak 1,05 gram lalu dimasukkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkam dengan propilenglikol sambil diaduk hingga klomfenikol larut. Setelah itu dimasukkan dalam wadah botol yang berwarna gelap agar terlindung dari cahaya.
Sebelum wadah botol tetes telinga diberi etiket, brosur dan dikemas, terlebih dahulu kita lakukan uji pemeriksaan hasil sediaan atau evaluasi. Pertama yang kita lakukan yaitu uji pH, dimana pH tetes telinga harus sesuai dengan Farmakope yaitu 5,5–6,5 dengan menggunakan pH meter. Kedua yaitu uji kejernihan, uji ini bertujuan agar obat tetes telinga yang kita buat dapat jernih dan bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad. 2000. ILMU MERACIK OBAT TEORI DAN PRAKTEK. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Ansel, Howard. 1989. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI. Jakarta : UI
Press
Annonim. 1978. FORMULARIUM NASIONAL EDIS II. Jakarta : Depkes RI
Anonim. 1979. FARMAKOPE INDONESIA EDISI III. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 1997. FARMAKOPE INDONESIA EDISI IV. Jakarta : Depkes RI
Syamsuni. 2006. ILMU RESEP. Jakarta : EGC
<br /></div>